Tata Cara Perkawinan Umat Buddha

I. Pendahuluan

Perkawinan merupakan pintu gerbang membangun sebuah keluarga. Agar bangunan keluarga itu langgeng, maka dalam membangun keluarga seseorang harus mempunyai tujuan yang jelas dan memiliki pengetahuan terhadap makna perkawinan.

Keberhasilan seseorang dalam membangun sebuah keluarga akan menjadi jembatan untuk membangun kebersamaan dan kebahagian seluruh anggota keluarga dalam kehidupan saat ini maupun dalam kehidupan yang akan datang.

Dalam Agama Buddha terdapat adanya azas monogami yang dianut dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57, yaitu perkawinan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi). Atas dasar itulah Agama Buddha mendukung azas perkawinan dimana suatu perkawinan seorang laki-laki hanya mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya mempunyai seorang suami.

Agar tercapai hubungan yang baik dalam perkawinan sebaiknya pasangan suami-istri memperhatikan hal-hal sebagai berikut sehingga tidak terjadi penyesalan dalam kehidupan yang akan dijalani kedepan. Hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:

  1. Samma Sadha (keyakinan) Sadha merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membantu pola hidup yang baik.
  2. Samma Sila (kemoralan) di dalam mengembangkan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya menjaga kemoralan dalam kehidupan untuk menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun hidup bermasyarakat.
  3. Samma Cagga (kedermawanan) dengan memiliki kedermawanan akan mengerti arti cinta yang sesungguhnya yaitu memberi segala sesuatu yang kita miliki demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan iklas dan tanpa syarat.
  4. Samma Panna (kebijaksanaan) pasangan yang memiliki wawasan yang sama maka setiap permasalahan akan cepat terselesaikan. Kesamaan dimaksud tentunya sesuai dengan ajaran Buddha yang mengajarkan hakekat hidup ini adalah ketidakpuasan, penyebab ketidakpuasan itu adalah keinginan, jika seseorang dapat mengendalikan keinginan maka tidakpuasan akan dapat diselesaikan.

II. Makna Perkawinan

Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan dilaksanakan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia. Guru Agung Buddha mengajarkan bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di dunia ini, jika dalam keluarga itu dapat menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah rusak, maka untuk tidak berlebihan dan selalu berbuat kebajikan Angutara Nikaya II.

II. Persyaratan Perkawinan Agama Buddha

Persyaratan Perkawinan menurut Agama Buddha diatur oleh Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan secara seremonial diatur oleh masing-masing Majelis Agama Buddha yang melaksanakan upacara perkawinan. Untuk melangsungkan proses pemberkatan perkawinan secara agama Buddha adalah sebagi berikut:

  1. Calon mempelai menghubungi pengurus vihara/ Pandita Lokapalasraya;
  2. Calon mempelai melengkapi dokumen/ berkas perkawinan sebagimana diatur oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil;
  1. Calon mempelai mengikuti Bimbingan Perkawinan sebanyak 8 (delapan) kali.

 

IV. Urutan Pemberkatan Perkawinan Agama Buddha

  1. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara, dengan diiringi orang tua/ wali, saksi dan keluarga;
  2. Persembahan altar Buddha;
  3. Tanya jawab mempelai, orang tua dan saksi;
  4. Persembahan Puja;
  5. Penghormatan kepada Tri Ratna;
  6. Pembacaan ikrar mempelai;
  7. Pemasangan cincin perkawinan;
  8. Pemasangan pita dan kain kuning;
  9. Pemberkatan oleh orang tua dan Pandita Lokapalasraya;
  10. Pesan/ nasehat dari orang tua;
  11. Pesan Dhamma;
  12. Pelepasan pita dan kain kuning;
  13. Penandatangan ikrar oleh mempelai, orang tua/ wali dan saksi;
  14. Penyerahan surat keterangan perkawinan dan Ikrar;
  15. Penutup upacara perkawinan.

Tanya Jawab Pada Kedua Mempelai

Namo Buddhaya,

Kedua mempelai yang berbahagia, yang hari ini menghadap saya untuk melangsungkan pemberkatan perkawinan secara Agama Buddha di Vihara …

Baiklah akan saya laksanakan sesuai dengan tugas saya selaku Pelayanan Pembantu Pencatat Perkawinan Agama Buddha (P4B) dan Pandita Lokapalasraya, kepada segenap sanak keluarga saya persilahkan duduk di tempat yang telah disediakan.

Kedua mempelai yang berbahagia serta kedua orang tua/ wali mempelai yang saya hormati, hadirin dan para saksi yang saya muliakan.

Sebelum prosesi perkawinan ini dilanjutkan, saya akan bertanya kepada keluarga, apakah kedua keluarga tidak ada yang keberatan apabila Saudara … dan Saudari … melangsungkan perkawinan secara Agama Buddha?

Untuk saksi, apakah antara Saudara … dan Saudari … tidak ada hubungan keluarga?

Apakah Saudara … bersedia mengambil Saudari … sebagai istri Saudara yang sah?

Apakah Saudari … bersedia menerima Saudara … sebagai Suami Saudari?