Close

Mencegah Anak dari Zina bukan dengan Menikahkan Mereka

Sering kita mendengar alasan yang berkembang di masyarakat, bahwa menikahkan anak itu dilakukan dengan tujuan menghindarkan mereka dari perzinahan. “Biar bisa halal he he..”. “Daripada haram lah…”. “Walau bagaimanapun pernikahan anak itu lebih baik dari berzina”. Demikian yang biasa dikatakan sebagian orang.

Pandangan berbeda disampaikan dalam Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang dihelat pada 27 April 2017 di Pesantren Kebon Jambu Bababakan Ciwaringin Cirebon. Menurutnya, secara normatif maupuan faktual, pernikahan anak rentan terhadap kerusakan fisik biologis dan keburukan keluarga dan sosial.

Data berbagai lembaga swasta dan pemerintah, dari sisi kesehatan, ibu hamil usia anak rentan anemia, kurang gizi, bayi bisa tidak sempurna fisik dan mental, berpeluang besar untuk meninggal baik ibu maupun bayi karena organ reproduksi yang belum matang.

Dari sisi mental, emosi seorang anak belum siap untuk mengurus keluarga apalagi jika memiliki anak. Karena itu, mereka rentan terjadi percekcokan dan perceraian. Setidaknya akan sulit untuk membina kebersamaan dan mewujudkan kebahagiaan.

Ketidak matangan ini, di samping rentan perceraian, juga bisa membuka berbagai persoalan sosial lain, karena ketahanan keluarga mereka masih lemah. Bisa persoalan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, pengabaian, bahkan bisa terjerumus pada narkoba dan radikalisme.

Dengan cara pandang demikian, maka pernikahan anak adalah mudlarat yang tidak bisa menjadi alternatif atau jalan untuk menghindarkan seseorang dari zina. Dalam kaidah fiqh, kemudlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudlaratan yang lain (adl-dlararu laa yuzaalu bidl-dlarar). Artinya, kemudlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemularatan lain.

Penjelasannya, zina adalah haram dan mudlarat, tidak boleh dicegah dengan pernikahan anak yang juga mudlarat. Karena masih banyak cara lain untuk menghindari zina, seperti kata al-Qur’an agar menjaga perilaku dan pandangan (QS.  24: 30-31), kata Nabi Saw dengan berpuasa (Hadis Muslim, no. 3464), atau dengan melakukan berbagai aktivitas positif yang memalingkan dan atau mengurangi nafsu syahwat seseorang.

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه، قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
(رواه مسلم في صحيحه، رقم الحديث: 3464)

Dari Abdullah bin Masud ra, Rasulullah Saw bersabda: Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat menekan syahwatnya (Riwayat Muslim dalam Sahihnya, no. Hadits: 3464).

Semangat kaidah fiqh di atas, juga sejalan dengan pernyataan Nabi Saw dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Malik.

عَنْ يَحْيَى الْمَازِنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ».
(رواه مالك في الموطأ، رقم الحديث: 1435، كتاب الأقضية، باب باب الْقَضَاءِ فِى الْمِرْفَقِ).

Dari Yahya al-Mazini, Rasulullah Saw bersabda: Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh mengganti bahaya dengan bahaya lain (Riwayata Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ (no. hadis: 1435), juga Ibn Majah dalam Sunannya (no. hadis: 2430 dan 2431), dan Imam Ahmad dalam musnadnya  (no. hadis: 2912 dan 23223).

Dus, semua orang, baik anak itu sendiri, keluarga, masyarakat, maupun negara, harus cerdas mencari alternatif untuk menghindarkan anak-anak dari perzinahan sekaligus dari pernikahan anak. Menyibukkan diri dengan aktivitas pendidikan, misalnya, adalah bisa menghindarkan anak-anak dari keduanya, sekaligus bisa mendatangkan banyak manfaat untuk persiapan masa depan mereka.

Related Posts

Tinggalkan Balasan