Close

Konflik dengan Anak? Wah, itu bagus!

 Nia (10 tahun) asyik memperhatikan laptopnya, tak digubrisnya suara ibunya berulang kali. Akhirnya Ibu mendatangi dan memarahi Nia, sampai Nia masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintu.

Padahal baru kemarin dalam pengajian, Ibu mendengar bu Nyai mengingatkan jamaah pada sabda Rasulullah, “jangan marah, surga untukmu.” Lalu bagaimana caranya agar tidak marah kepada anak?

 

KONFLIK ATAU MARAH

Konflik dengan anak itu sesuatu yang tak terelakkan, bahkan (sampai tingkat tertentu) jadi penanda hubungan yang sehat dalam keluarga. Kalau orangtua tidak pernah konflik dengan anak, justru tanda bahaya. Bisa jadi, anak tertekan oleh dominasi orangtua.

Tetapi konflik tidak sama dengan marah, juga tidak sama dengan marah-marah. Konflik artinya berbeda pendapat/keinginan yang belum mendapatkan jembatan penghubungnya. Orang yang marah biasanya memang karena berkonflik dengan orang lain. Tetapi kita bisa berkonflik tanpa marah.

Marah pun berbeda dengan marah-marah. Marah adalah perasaan tidak suka yang sangat intens. Seseorang menjadi tegang karena kemarahannya. Rasa marah ini bisa diungkapkan, bisa juga dirasakan di dalam hati saja tanpa diungkapkan. Biasanya hanya tampak dari gestur tubuh atau ekspresi wajah yang menunjukkan tegang. Banyak Kyai dan Nyai sepuh yang terkenal dengan ciri ini.

Mengungkapkan rasa marah dengan berlebihan, itulah marah-marah. Misalnya dengan mengomel, memaki, membanting pintu, atau bahkan memukul. Pada banyak orang, marah-marah adalah ekspresi dari perasaan marah. Tetapi sesungguhnya, ini menunjukkan ketidakmatangan dan ketidakmampuan kita untuk mengelola emosi marah.

Berkonflik dengan anak atau pasangan adalah sesuatu yang baik, asalkan dapat diselesaikan dengan baik. Berkonflik menunjukkan kedua belah pihak sama-sama dapat mengungkapkan kebutuhannya. Tinggal mencari kesepakatan untuk menjembatani perbedaan ini. Tentu saja, berkonflik yang tidak menggunakan marah-marah.

 

USWATUN HASANAH DALAM KONFLIK

Konflik dengan anak adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh-kembang bagi anak. Anak akan belajar dari ekspresi orangtua dan bagaimana orangtua mensikapi ekspresi anak

Saat berkonflik, serta cara menyelesaikan konflik.

Bagaimana sikap orangtua dalam konflik dengan anak, akan jadi sumber belajar utama untuk anak dan membentuk karakter dewasanya. Anak menyerap lebih banyak dari tindakan orangtua dibandingkan dengan apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Bagaimanapun, orangtua adalah teladan bagi anak-anaknya. Yang terbaik tentu saja menjadi uswatun hasanah.

 

  • Dalam konflik dengan anak, orangtua yang tenang dan tidak emosional akan membuat anak membentuk sikap tenang dan emosional juga. Anak belajar untuk tidak mengekspresikan kemarahannya dengan marah-marah. Dengan demikian ia menjadi tenang dan tidak dikuasai emosi saat menghadapi masalah, dan terlatih menyelesaikan masalah dengan baik.
  • Anak yang dimarah-marahi di hadapan orang lain akan merasa kerdil. Akibatnya ia tumbuh menjadi orang yang tidak percaya ia adalah orang yang berharga. Kalau harus berkonflik, selesaikan di tempat yang privat.
  • Dalam konflik, orangtua yang fokus pada solusi, bukan pada siapa yang salah siapa yang benar, akan membantu anak tidak terjebak pembenaran diri. Banyak orangtua sibuk dengan kalimat, “kamu ini memang anak nakal, kalau dinasehati orangtua tidak pernah menurut.” Padahal kalimat itu tidak menjawab persoalan yang ada, misalnya persoalan terlalu banyak menonton TV. Fokus orangtua pada solusi dalam konflik dengan anak juga akan membantu anak selalu berpikir langkah selanjutnya untuk menyelesaikan masalah alias mudah move-on.
  • Konflik adalah saat untuk belajar saling mendengarkan dan memahami satu sama lain. Orangtua yang mencoba memahami lebih dulu akan membantu anak belajar melihat masalah dari perspektif orang lain. Kebanyakan orangtua sibuk memarahi tanpa meluangkan waktu untuk mendengarkan penjelasan anak. Kesempatan anak untuk menyampaikan masalah dan didengarkan orgtua adalah pembentukan harga diri yang terbaik. Di sisi lain, orangtua yang mampu menyampaikan dengan baik keberatannya tentang perilaku anak, menjadi contoh bagi anak untuk berani menyuarakan pertimbangannya.
  • Meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah bagian penting dari konflik. Orangtua yang tidak takut mengakui kesalahannya, akan melatih anak untuk tidak sibuk membela diri saat ia tahu ia sedang ber Orangtua yang tidak segan minta maaf dalam konflik, akan meneladankan pada anak untuk merasa nyaman saat meminta maaf kapan pun.

Meminta maaf pun tidak selalu soal siapa yang benar siapa yang salah. Bila pun kita benar, tidak ada salahnya meminta maaf untuk menunjukkan penyesalan kita telah berkonflik.  Misalnya, maaf  ya kak, ibu menyesal kakak jadi kesal karena laptopnya ibu simpan sampai besok.” Pesan terselubungnya: tidak bisa ditawar laptop disimpan karena anak menolak berhenti main, tetapi orangtua tahu bahwa itu membuat anak merasa kesal. Dengan demikian, anak merasa tetap dipahami orangtuanya, tetapi anak belajar untuk tidak melanggar aturan.

  • Bila orangtua tidak bisa menahan emosi, orangtua meminta time-out (waktu jeda). Orangtua bisa mengatakan, “maaf ya dik, ibu masih marah sekali karena adik memukul teman. Jadi kita stop dulu, nanti kalau Ibu sudah tenang, kita akan selesaikan.”
    Duduk atau berbaringlah, sebagaimana diajarkan Rasulullah saw dalam sabdanya “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Hiban)
    Ini akan mengajarkan kepada anak, bahwa kita manusia yang memiliki batas emosi, tetapi bahwa kita perlu melakukan upaya untuk menguasai emosi kita itu.

 

TUTUP BUKU

Setiap konflik perlu diakhiri dengan penyelesaian agar tidak ada ganjalan di kemudian hari. Jangan sampai orangtua hanya berhenti pada hilangnya rasa marah, sementara persoalan intinya tetap tidak terselesaikan. Pada tahap ini, memasukkan nilai-nilai kehidupan (utamanya ajaran agama) yang sesuai akan berkesan sangat dalam dalam jiwa anak. Bila di awal konflik, membawa nilai-nilai agama jadi seperti khotbah. Malah membuat anak bersikap defensif karena dipersalahkan. Bila dilakukan di akhir konflik, sifatnya menjadi hikmah.

Dan yang terpenting, berikan pelukan hangat di akhir konflik. Hadiah pelukan itu memberitahu anak, “seberapa buruk pun situasinya, Ibu selalu sayang kepadamu.”

Kita semua ingin memiliki anak yang abror, yang berkarakter baik dan membanggakan. Kunci utamanya adalah bagaimana kita menjadi uswatun hasanah bagi mereka, bukan?

Related Posts

Tinggalkan Balasan