Close

Kesehatan Reproduksi Tak Sekadar tentang Hubungan Seksual

Banyak orangtua yang merasa tidak pantas untuk membicarakan kesehaan reproduksi dengan remaja. Alasannya, tabu berbicara soal seksual pada anak remaja. Ini artinya, kesehatan reproduksi sering disalahartikan hanya sebagai hal-ihawal hubungan seksual saja. Padahal, kesehatan reproduksi berarti luas. Meliputi keadaan fisik, mental, sosial yang sangat penting untuk dimengerti oleh remaja. Kepala Subbagian Direktorat Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja, Kementerian Kesehatan Wara Pratiwi, mengingatkan para orangtua bahwa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan cenderung ingin mengeksplorasi dunia. Masalahnya, seringkali hasrat itu tidak dibarengi dengan pertimbangan yang matang. Akibatnya, tindakan-tindakan yang dilakukan berisiko tinggi baik bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di sekitarnya. ”Apabila tidak diberi perhatian dan dibiarkan tanpa pengawasan, perbuatan berisiko ini dapat memunculkan berbagai masalah. Salah satu masalah yang bisa timbul akibat perilaku tersebut adalah masalah kesehatan reproduksi,” papar Wara pada bimbingan teknis (bimtek) Program Aksi Guru dalam Pendidikan Kesehatan Reproduksi, di Jakarta, Selasa (21/05),seperti dimuat di jpp.go.id. Menurut Wara, remaja pada umumnya masih labil dan tidak sepenuhnya memahami konsekuensi atas perbuatannya. Remaja cenderung mudah mengikuti teman dibanding orangtua dan guru. ”Orangtua, guru, dan penyuluh kesehatan remaja perlu paham tentang psikologi remaja sehingga dapat menjadi tempat diskusi dan berbagi dengan anak. Sehingga remaja tidak mudah dipengaruhi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,” tegasnya. Kepala Subbagian Direktorat Program dan Evaluasi, Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Tina Jupartini, menuturkan, peran orangtua sangat penting dalam pemahaman kesehatan reproduksi yang benar dan utuh melalui cara-cara yang penuh keakraban dan persahabatan dengan sang anak. ”Guru tinggal menguatkan saja dengan pelbagai perspektif yang menunjang,” katanya. Namun, menurut Tina, banyak orangtua yang abai melakukan hal itu kepada anaknya. Karena itu, guru perlu mengambil peran menginjeksi pemahaman yang benar dan utuh tentang kesehatan reproduksi terhadap anak yang ternyata diketahui tidak pernah dibekali pemahaman dari orangtua. Hal itu sebagai upaya menghindarkan peserta didik dari pemahaman dan perilaku keliru tentang kesehatan reproduksi yang diperoleh lewat sumber-sumber sesat dan menjerumuskan. ”Tentu kondisi itu bukan kondisi ideal bagi guru dengan mengambil peran tambahan yang seharusnya dilakukan orangtua murid yang ada secara fisik tapi disfungsi secara peran. Perlahan tapi pasti ke depan, harus diupayakan dialog dan kerja sama lebih intensif antara orangtua dan guru terkait materi dan metode memberi pembekalan yang tepat tentang pendidikan jelang dan pasca-akil baligh kepada seorang anak oleh orangtua di dalam keluarga,” papar Tina. Yanuar Jatnika.
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900745

Related Posts

Tinggalkan Balasan